Cerpen "Jejak Asa"
Jejak Asa
oleh: agistinaask
Kehidupan orang-orang di kota besar telah menghinoptis
diriku, yakni setelah lulus sekolah aku harus pergi untuk menuju perubahan
hidup yang lebih baik. Apalagi, sejak aku menonton layar ajaib setiap hari. Berkat
kebiasaanku itu banyak hal yang aku ketahui melalui layar tersebut, seperti
halnya kehidupan mewah di kota besar. Sering imajinasiku tak tentu arah,
membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi seakan ingin sekali menjadi
kenyataan. Hingga terkadang, orang tua ku sempat tak yakin apabila anaknya ini
suatu saat akan meraih apa yang diharapkan. Dan sekarang aku sudah tamat dari
wajib belajar 12 tahun, namun sampai sekarang aku belum mendapat panggilan
pekerjaan. Padahal sudah banyak lowongan pekerjaan yang aku berikan surat
lamaran. Sampai rasanya diriku merasa putus harapan untuk mendapatkan
kesuksesan.
Untuk mengisi waktu luangku setiap hari, aku selalu
membantu orang tua ku bekerja di sawah. Hingga terkadang, aku merasa iri jika
ada mahasiswa yang sedang melakukan tugas terjun ke desa. Rasanya, bagaikan
melihat masa depan cerah ada dipihak mereka. Apalagi saat teman akrabku
memberitahu bahwa ia diterima bekerja di perusahaan ternama, kembalilah rasa
iri sekaligus bersamaan dengan rasa bangga akan kesuksesan orang lain muncul
secara tiba-tiba. Akhirnya suatu malam, aku dan orang tua ku duduk di ruang
keluarga membicarakan tentang tekadku selama ini.
“Bu, Renand ingin
sekali meraih kesuksesan” Ucapku dengan nada lirih, kedua mataku menatap penuh
keyakinan kepada ibu.
“Ibu, tahu apa yang
kamu inginkan. Tapi, apakah ada jalan lain untuk meraih itu selain kamu harus
pergi ke kota?” Tanya Ibu dengan nada cemas.
Aku menatap raut wajah
Bapak sebelum menjawab pertanyaan
tersebut.
“Aku tahu, kehidupan di
kota sangatlah sulit. Tapi, aku janji. Aku akan meraih kesuksesan itu lalu aku
akan pulang kembali setelah itu.” Jawabnya
“Renand, apakah kamu
bisa mempertimbangkan lagi mengenai hal itu? Kamu bisa bekerja di tempat-tempat
yang tidak jauh dari sini.” Kata Bapak
Aku tak mengeluarkan
kalimat lagi, aku tertunduk lemas seakan apa yang di harapkan tak akan
terwujud. Suasana menjadi hening, hingga akhirnya aku memilih beranjak dari
kursi ruang keluarga ingin menuju kamar. Namun, langkah pertamaku terhenti akan
panggilan suara bapak.
“Renand..” Panggilnya.
Aku membalikkan tubuhku lalu kembali duduk dikursi semula.
“Kamu boleh pergi ke
kota, asal apapun yang terjadi kamu harus kembali lagi ke desa asal mu ini”
Ucap Bapak dengan nada yakin. Ekspresiku berubah menjadi bahagia dengan cepat,
ucapan syukur dan terimakasih terus aku utarakan kepada orang tua sekaligus
Dia-dzat yang telah mengabulkan doa
ku.
Keesokkan harinya, aku sudah mempersiapkan semua hal yang
aku perlukan ketika di kota nanti. Ibu dan Bapak tak henti-hentinya
menasehatiku, ada rasa berat untuk meninggalkan mereka namun selagi ada
kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ibu dan Bapak mengantarku hingga
pasar desa, disana biasa bus jurusan ibu kota berhenti untuk menunggu
penumpang. Tak lama kemudian, bus itu datang aku segera berpamitan dengan
mereka. Aku pun masuk ke dalam bus dan memilih tempat duduk disebelah kanan
dekat jendela. Sepertinya Ibu dan Bapak akan pergi jika bus yang ku tumpangi
sudah melaju. Perlahan bus ini melaju, aku memandangi raut wajah Ibu dan Bapak melalui
jendela bus hingga melaju cepat meninggalkan jejak bayangan raut wajah mereka
di memori otakku. Perjalanan ini memakan waktu 8 jam, kira-kira aku akan tiba
di kota impian pada sore hari.
Perjalanan yang begitu lama akhirnya tiba ditempat tujuan
pada sore hari. Wah! Tak disangka terminal bus di kota sangat ramai walaupun
senja sudah menghampiri. Aku turun dari bus dan melangkahkan kaki keluar dari
terminal. Aku bingung, harus kemanakah aku saat ini. Aku harus mencari tempat
tinggal sementara, namun jalanan begitu ramai kendaraan suara klakson
dibunyikan berlomba-lomba akibat macet yang begitu panjang didepan terminal.
Hal itu membuatku semakin tak tentu arah, harus bagaimana. Aku istirahat dahulu
di halte bus, sambil memandangi hiruk pikuk kemacetan ibu kota.
Namun,
tiba-tiba aku melihat sebuah caffe diseberang jalan yang begitu mewah tampilan
bangunannya. Aku penasaran, akhirnya ku
langkahkan kaki menuju tempat tersebut. Ketika aku memasuki tempat tersebut,
suasana begitu nyaman. A-C di caffe
ini berhasil membuat tubuh bagaikan dikutub utara. Orang-orang yang datang
semuanya fashionable. Agar
penampilanku tak terlihat oleh banyak orang, aku memilih tempat duduk di area
pinggir samping dinding. Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita datang
menghampiriku dan menyodorkan daftar menu caffe tersebut. aku sempat merasa shocked ketika melihat daftar harga yang
tertera. Begilah aku, orang dari desa yang nekat menggapai harapan di kota dan
penasaran akan rasa kehidupan mewah.
“Saya pesan es jeruk
saja, Mbak” Ujarku. Menu tersebut adalah yang sesuai dengan isi kantongku. Sang
pelayan tertawa kecil, rupanya ia sedang mengejekku secara tak langsung. Tak
lama kemudian, pesananku datang sesekali ku menikmati suasana nyaman di tempat
ini.
“Mas, sendirian?”Tanya
seorang laki-laki berpenampilan rapi, celana hitam bahan, kemeja putih, jas
hitam dan tatanan model rambutnya mempesona. Dia lalu duduk bersamaku dalam
satu meja. Aku tak menjawab pertanyaan dari orang tersebut.
“Mau saya pesankan lagi
makanan?” Tanya laki-laki itu.
Aku membisu.
“Perkenalkan saya
adalah pemilik caffe ini” Ujar dia sambil mengulurkan tangan kanan untuk
mengajak berjabat tangan. Aku tercengang, lalu ku balas jabatan tangan
tersebut.
“Sejak kapan Mas
mengelola bisnis ini?”Tanyaku penasaran dengan kesuksesan yang laki-laki itu
raih, karena perkiraanku usia dia tak jauh berbeda denganku.
“Baru berjalan sekitar
1 tahun” Jawabnya
“Tadinya, saya juga
seperti anda berasal dari desa yang nekat pergi ke sini untuk menjadi orang
sukses. Ternyata kehidupan disini sangat jauh berbeda.” Lanjutnya
“Lalu modal anda untuk
membangun usaha ini darimana?” Tanyaku
“Awalnya saya bekerja
serabutan, namun gaji yang saya terima tidak mencukupi kehidupan sehari-hari.
Alhasil, saya diajak teman untuk ikut Arisan Brondong waktu itu. Berkat ikut
kegiatan itu aku mendapat banyak uang dari ibu-ibu sosialita yang tak terhingga
jumlahnya. Sampai sekarang pun masih saya jalani kegiatan tersebut” Jelasnya
Aku
tak jadi merasa kagum kepadanya, akhirnya aku merasa bosan ditempat itu. Aku
lalu meninggalkan orang itu, bergegas menuju kasir lalu keluar meninggalkan
tempat tersebut. Hari semakin sore, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang.
Aku bergegas melangkahkan kaki mencari tempat beribadah yang terdekat.
“Dek, anak perantauan
ya?” Tanya salah seorang laki-laki paru baya yang juga jamaah di masjid itu.
Beliau lalu duduk disamping saya, yang sedari tadi sedang memikirkan aku harus
kemana lagi setelah ini.
“Iya, Pak” jawabku
“Lebih baik adek, mala
mini istirahat di rumah saya saja. Kebetulan anak bapak semuanya laki-laki jadi
tidak masalah. Daripada tidur dijalanan, lagian tempat kontrakan ataupun
kost-kostan disini jarang ada.” Ujar Bapak itu. Aku pun menerima tawaran dari
bapak itu, karena rezeki tak pantas bila ditolak.
Keesokan harinya, aku berpamitan sekaligus berterimakasih
atas kebaikan bapak itu beserta keluarganya. Aku bergegas pergi menuju
tempat-tempat yang kemungkinan sedang mencari pegawai baru. Dari matahari
terbit hingga terbenam aku tidak menemukan satu tempat pun yang sedang membuka
lowongan pekerjaan. Hingga sore itu, aku duduk di halte bus depan kantor
perusahaan ternama. Ku amati satu per-satu orang-orang yang keluar dari gedung
tersebut. Ada sebagian dari mereka pulang menuju rumah dengan berjalan kaki, aku
pun penasaran apakah mereka tidak kelelahan setelah seharian bekerja mengurus
berbagai dokumen yang harus diselesaikan tepat waktu. Lalu kedua mataku tertuju
kepada seorang wanita usianya ku kira sekitar 30-an. Ia terlihat begitu lelah
ditambah membawa tas kantor yang isinya membuat tampilan tas itu begitu berat. Aku
merasa iba melihat wanita tersebut, akhirnya ku langkahkan kaki menyusul orang
itu.
“Maaf, Ibu pasti
kelelahan biar saya saja yang membawakan tas nya”Kataku. Wanita tersebut nampak
bingung ketika melihatku, mungkin karena kita belum saling mengenal dan aku
langsung menawarkan bantuan. Aku harap ia tak mencurigaiku sebagai penjahat.
Aku menunggu tanggapan dari Ibu itu.
“Iya, terimakasih ya
nak. Maaf merepotkan” Jawabnya dan langsung memberikan tas kantornya kepadaku,
kami pun berjalan perlahan menuju tempat tinggalnya.
Tak
lama kemudian, kami berdua sampai. Ternyata Ibu ini tinggal di sebuah
apartament yang jaraknya tak begitu jauh dengan kantornya. Tak habis pikir
entah kenapa orang kota selalu memilih tempat ini sebagai rumahnya. Mulai dari
kalangan bawah yang berasal dari desa, menengah seperti orang-orang pembisnis
dan atas yakni mereka yang terkenal di dunia perfilman. Ketika dikoridor
apartament, Ibu itu menceritakan kehidupannya. Ternyata, bekerja keras untuk
menafkahi keluarganya.
“Dimana suami
Ibu?”Tanyaku. Ibu itu menghela napas sejenak.
“Suami saya adalah
mantan narapidana, ia sudah mengirimkan surat lamaran dimana-mana namun tidak
ada tempat yang menerimanya. Hingga saya memutuskan agar dia dirumah saja
mengurus kedua anak kami yang masih kecil.” Jelas Ibu itu.
Sungguh Ibu tersebut pantas diberikan pujian, karena dia
telah menjadi pencari nafkah pengganti sang suami. Kehidupan di sini ternyata
seorang wanita pun berhak untuk bekerja menafkahi keluarganya, berbeda di
kampungku. Di sana seorang wanita hanya boleh berdiam dirumah. Lalu,
sesampainya kami langsung memasuki rumah tempatnya tinggal. Aku melihat suami
Ibu tersebut sedang kelelahan mengurus kedua anak kecilnya yang sedari tadi
berlarian hingga membuat barang-barang berantakan. Aku secara sigap langsung
membantu membersihkan barang-barang itu.
“Tidak usah, Nak”
perintah suaminya
“Lebih baik kamu pergi
saja dari sini sekarang, tugasmu mengantar istriku sudah selesai. Terimakasih
atas bantuannya” Lanjutnya. Lalu laki-laki itu menyeret lengan tangan kanan ku
dan diajaklah aku keluar dari dalam rumah. Aku merasa bingung, mengapa suaminya
begitu tak suka akan kehadiranku.
“Mas, jangan begitu.
Biarlah dia masuk dan makan malam bersama kita disini” Ujar Istrinya. Namun,
suaminya tak menanggapi apa yang dikatakan olehnya. Akhirnya, dengan berat hati
disertai rasa penasaran aku meninggalkan tempat tersebut.
“Baru 2 hari di sini
sudah bertemu orang-orang yang berbeda-beda cerita” kataku lirih sambil
berjalan tak tahu tujuan selanjutnya. Namun, tiba-tiba ponselku bordering
pertanda telfon masuk. Nomor asing.
“Hallo?” Sahutku
“Anda, Renand Guntoro?
Saya direktur dari perusahaan Bisa Jaya. Saya ingin meminta anda untuk datang
ke alamat yang sudah saya kirimkan melalui pesan. Saya ingin mewawancari anda,
saya tunggu pukul 7 malam. Terimakasih” Kata orang yang mengaku dirinya
direktur.
Karena diriku sangat membutuhkan pekerjaan, aku percaya
saja bahwa itu direktur sungguhan dari perusahaan tersebut. Aku sangat percaya
bahwa harapanku selama ini akan terwujud. Akhirnya ku bergegas menuju alamat
yang sudah diberitahu. Waktunya cukup lama, aku menaiki bus. Tak lama kemudian,
aku sampai ditempat tujuan pada pukul 7 tepat. Namun, ada rasa heran yang
menyelimuti hati dan pikiranku. Mengapa harus melakukan wawancara pekerjaan
ditempat seramai ini? Yang terlihat didepanku ialah sebuah gedung megah dengan
disinari cahaya lampu warna-warni yang begitu gemerlap. Banyak orang-orang yang
memasuki gedung tersebut. Anehnya, gedung ini berada agak jauh dari keramaian
lalu lintas kota. Mataku tak henti-hentinya mencari seseorang yang mengaku
direktur perusahaan. Ponselku bordering lagi.
“Hai, kau sudah tiba
rupanya. Saya berada tepat disamping kananmu memakai gaun warna biru” Ujarnya.
Aku pun menengok kesamping kananku. Yang benar saja, dia adalah seorang wanita
cantik dengan gaun biru yang menutupi tubuh indahnya disertai tas putih yang
gemerlap. Wanita tersebut tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya.
“Kenapa saya harus
melakukan wawancara pekerjaan ditempat seperti ini?” Tanyaku
Wanita yang belum
menyebutkan namanya itu, hanya melemparkan senyum lagi padaku. Dia lalu
mengajakku untuk masuk, aku dengan polosnya mengikutinya.
Sungguh tak terduga, suasana didalam gedung ini sangat
ramai. Lampu warna-warni ada dimana-mana berkedap-kedip begitu cepat menyorot
para pendatang yang sedang asyik bersenang-senang. Suara music DJ menggebu begitu keras. Wanita itu
terus berjalan menuju tempat yang dia targetkan. Setelah menemukan tempat yang
tepat, wanita tersebut memulai pembicaraan kembali.
“Terimakasih sudah
menerima ajakanku, aku sesungguhnya bukan seorang direktur atau sebagainya. Aku
hanya seorang wanita yang membutuhkan teman untuk menemaniku. Apakah kamu
bersedia?” Ujar wanita tersebut.
Sepertinya aku telah
ditipu oleh wanita tersebut. aku tak menjawab pertanyaannya, dan aku seorang
remaja desa yang baru mengenal kehidupan kota langsung berlari keluar dari
tempat tersebut meninggal wanita itu. Sungguh, memang benar di sini banyak
orang-orang yang melakukan tindak kejahatan salah satunya dengan penipuan.
Malam itu aku terpaksa tidur di masjid terdekat, karena
tidak tahu lagi tempat tujuan selanjutnya. Hingga keesokkan harinya, aku terbangun
dari tidurku dan memikirkan sesuatu. Apa yang harus aku lakukan hari ini?
Dengan pertanyaan yang selalu menyelimuti pikiranku, aku berjalan menyusuri jalanan
ditemani suasana kota yang begitu padat lalu lintas. Setelah jauh ku berjalan,
aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon rindang. Aku amati
satu persatu kendaraan yang melintas dijalanan. Tiba-tiba kedua bola mataku
tertuju kepada seseorang diseberang jalan yang sedang duduk dan sibuk dengan
ponselnya serta disamping kanan terdapat tumpukan koran. Aku penasaran dengan
orang tersebut, akhirnya ku hampiri dia.
“Mas, sedang apa?”
Tanyaku kemudian duduk disebelahnya
“Lo gak lihat gua lagi
apa? Jualan koran lah!” Jawabnya ketus
“Tapi, mengapa Mas
tidak menjajakan koran tersebut seperti penjual lainnya. Mas malah sibuk dengan
ponselnya” Kataku lagi.
Orang itu tak menjawab pertanyaaanku.
Hingga datanglah seorang pembeli yang ingin membeli koran tersebut. Pembeli itu
merasa kesal karena, ia tidak mendapat pelayanan yang baik oleh si penjual. Penjual
hanya sibuk dengan ponselnya dan mengacuhkan pembeli. Alhasil pembeli tersebut
tidak jadi untuk membeli koran itu. Aku yang melihatnya menggelengkan kepala,
heran. Ponsel kini menjadi prioritas utama bagi kehidupan manusia. Seperti
halnya penjual koran tersebut, ia sibuk bermain media social yang dipunya
hingga melupakan amanat yang harus dijalankannya. Tiba-tiba ponselku berdering,
nomor asing lagi.
“Hallo, dengan Renand
Guntoro?” Sapanya
“Iya, benar” Jawabku
“Apakah anda bisa
datang hari ini pukul 10 siang ke kantor kami?”Ujarnya
“Iya bisa, saya akan
segera kesana”Jawabku
“Anda saya tempatkan di
bagian staff kaamanan. Dimohon kehadiran anda secepatnya”
Tanpa basa basi aku pun
bergegas menuju kantor tersebut, dalam perjalanan tak henti-henti nya aku
mengucapkan syukur. Apapun pekerjaannya aku terima dengan baik asalkan tidak
melanggar norma agama. Aku menganggap ini adalah awal dari perjuanganku menuju
kesuksesan dikota yang keras ini. Memang benar, mencari kesuksesan tidak dapat
di gapai dengan begitu cepat selalu ada perjuangan yang hebat di belakangnya.
Beberapa hari aku di kota, telah mendapat berbagai macam orang-orang dengan
latar belakang yang berbeda. Aku berharap, dapat menjadi lebih baik dari
mereka.
Komentar
Posting Komentar