ADA HATI YANG MENANTI
Hati, suatu
anggota organ tubuh yang sangat perlu dijaga dengan begitu baik. Begitu juga
halnya masalah hati dalam hal percintaan. Percintaan? Iya. Siapa yang tidak tau
dengan hal itu. Semua orang pasti saling mencintai dan menyayangi satu sama
lain. Akan tetapi hal percintaan ini hanya berlaku untuk dua pasang sejoli
antara laki-laki dan perempuan. Jika mereka menjalin hubungan ini, seharusnya
mereka menjaga hati mereka satu sama lain. Karena, jika salah satu diantara
mereka ada yang menyakiti maka yang pertama akan merasakan luka tersebut adalah
hati bukan kepala sebelah. Jika kepala sebelah namanya migran.
Berbicara
mengenai hati, Hilda adalah anak sekolah menengah atas di kotanya. Ia kini
duduk dibangku kelas dua belas. Hilda adalah anak yang rajin, cerdas,
bertanggung jawab, pandai bergaul, dan berkepribadian baik. Penampilannya yang
setiap hari selalu menggunakan kerudung dan baju lengan panjang itu membuat
diri Hilda semakin menawan dan cantik. Ditambah hidungnya yang mancung dan
kacamata yang selalu ia pakai disetiap harinya. Hingga teman-temannya pernah
bertanya kepadanya, “siapa kekasihmu Hil?” pertanyaan itu selalu Hilda jawab
dengan senyum manisnya. ia mengerti aturan agama yang ayahnya terapkan kepada
dirinya. Sesosok kekasih untuk saat ini tak perlu, yang terpenting Hilda harus
belajar dengan keras terlebih dahulu sampai cita-cita nya yang ingin menjadi
seorang guru bahasa arab tercapai. Sebenarnya sudah banyak laki-laki yang
menyatakan perasaannya kepada Hilda namun, Hilda menolak laki-laki itu dengan
begitu baik dan sopan. Sampai suatu hari, ia harus bertemu dengan sosok seorang
laki-laki yang begitu menawan. Tepat di perpustakaan mereka saling bertemu.
Hilda yang sedari tadi sedang sibuk membaca buku untuk referensi mata
pelajaran, tiba-tiba laki-laki tersebut datang menghampirinya dan duduk tepat
disampingnya. Laki-laki itu membawa buku yang bernuansa islami. Tanpa basa-basi
ketika laki-laki itu akan memulai membaca, Hilda langsung menegurnya.
“Kamu suka
buku seperti itu juga?” tanya nya dengan ekspresi wajah yang begitu ceria
“Iya hehe,
karena menurutku buku yang seperti ini itu bisa membuat kita lebih termotivasi
dalam menjalani kehidupan sehari-hari” jawabnya
“Iya kamu
benar! Aku juga sangat suka dengan buku yang bernuansa islami” sahutnya.
Mulai dari
teguran itulah Hilda dan laki-laki tersebut mulai berbincang-bincang ketika
diperpustakaan. Dan ketika waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, Hilda harus
segera pulang kerumah karena ia harus bersiap-siap untuk mengajar di madrasah
dekat rumahnya. Iya, Hilda diminta oleh sang ayah untuk mengajari adik-adik
kecil untuk mengaji di madrasah. Karena Hilda sudah terburu-buru untuk pulang,
ia tak sempat berkenalan dengan laki-laki tersebut begitu juga sebaliknya.
Hari
demi hari Hilda jalani dengan begitu baik, namun entah kenapa akhir-akhir ini
Hilda nampak berbeda disetiap harinya ketika disekolah ia selalu seperti sedang
mencari seseorang. Pandangannya selalu ia pandangkan ke arah yang ia inginkan
jika ia sedang berjalan melewati koridor kelas. Ada dengan Hilda? Siapa orang
yang ia cari? Ketika Hilda sedang berjalan menuju kantin, ada seseorang yang
memanggilnya dari belakang begitu keras. Hilda langsung memberhentikan
langkahnya dan membalikkan badannya. Senyum manisnya yang begitu lebar kini
mulai mengembang kembali. Raut wajahnya kini menandakan ia begitu senang ketika
orang itu memanggilnya. Namun disertai rasa bingung, bagaimana ia tahu
namaku? Katanya dalam hati.
Seseorang yang memanggilnya pun kini berjalan mendekati dirinya.
“Kamu Hilda
kan?” tanya seseorang itu. Hilda mengangguk.
“Wah senang
bisa bertemu dengan mu lagi” sahutnya disertai tertawa kecilnya yang begitu
lucu.
“Aku juga
hehe” jawabnya dengan simple. Padahal akhir-akhir ini Hilda sangat ingin sekali
bertemu orang tersebut, namun ia menyembunyikannya.
“Kamu mau ke
kantin kan? Ayo bareng, kebetulan perutku sudah lapar sekali sedari tadi”
katanya dan langsung berjalan terlebih dahulu mendahului Hilda. Tanpa basa-basi
Hilda langsung berjalan mengikutinya dibelakang.
Sesampainya di
kantin, mereka memulai membuka pembicaraan setelan memesan pesanan.
“Ohiya namaku
Akbar”katanya. Hilda hanya membalasnya dengan senyuman. Iya, Akbar. Sesosok
laki-laki yang ia temui di di perpustakaan. Sosok yang akhir-akhir ini Hilda
tunggu kedatangannya. Dan ketika perkenalan inilah mulai saat itu mereka berdua
menjadi akrab. Setiap hari mereka selalu berkirim informasi mengenai kegiatan
mereka sehari-sehari melalui telepon seluler. Sampai suatu hari, Akbar
berencana untuk bermain ke rumah Hilda. Namun, hal itu ditolak karena ia tak
boleh menerima tamu teman laki-laki oleh sang ayah. Sampai suatu ketika, Hilda
mulai merasakan hal yang berbeda di dalam hatinya setiap sedang bercakap dengan
Akbar. Hatinya begitu nyaman jika berada didekatnya. Begitu juga dengan Akbar,
ia juga merasakan hal yang sama. Perasaan apa yang sedang mereka berdua alami?
Suatu
hari, Akbar meminta Hilda untuk menemuinya di taman kota pada sore hari, dan
Hilda pun bersedia menemuinya. Ketika sesampainya di taman kota, terlihat Akbar
yang sudah menunggu begitu lama. Hilda terpaksa tertunduk lesu karena ia datang
terlambat. Terlambat, iya karena ia harus mengajar mengaji terlabih dahulu.
Namun hal itu tak apa untuk Akbar. Lalu Akbar langsung memberikan kode agar
Hilda mau duduk tepat disampingnya. Ketika Hilda sudah terdiam duduk
disampingnya, ia mulai mengeluarkan kata-kata mutiara dari dalam mulutnya.
Ungkapan kata-kata tersebut merupakan isi hati seorang Akbar selama ini
terhadap Hilda. Sampai di akhir kata ia langsung menyatakan perasaan nya bahwa
ia begitu menyayanginya dan sebelum Akbar lanjut ke misi penembakan, Hilda
langsung memotong pembicaraan Akbar.
“Sebenarnya
aku juga mempunyai rasa yang sama seperti mu Akbar, namun aku untuk saat ini
belum bisa menerima mu.” katanya.
Akbar hanya
terdiam, tertunduk lesu.
“Kita sudah
sama-sama mengetahui. Kamu mempunyai rasa terhadapku dan aku juga mempunyai
rasa terhadapmu. Jadi, yang aku inginkan sekarang ialah bukan menjalin hubungan
layaknya dua sejoli yang setiap hari harus bermesraan. Seperti yang kamu tahu
agama kita mengajarkan untuk tidak berpacaran. Karena, berpacaran itu adalah
salah satu perbuatan zina. Jadi, aku tidak mau mendapat dosa hanya karena
pacaran. Iya aku juga punya rasa terhadapmu namun aku hanya ingin kita saling
Berkomitmen!” jelas Hilda sambil menatap kedua mata Akbar dengan tatapan yang penuh dalam.
“Berkomitmen?”
bingung Akbar
“Iya, sekarang
tolong kamu carikan botol minuman bekas atau toples bekas” perintahku. Akbar
langsung mencarinya. Dan toples bekaslah yang ia temui. “Lalu setelah itu?”
tanya Akbar sambil menyerahkan toples bekas tersebut. Hilda langsung membagi
satu lembar kertas menjadi dua. Satu untuknya dan satunya lagi untuk Akbar.
“Tulis apa
yang kamu pikirkan tentang perasaanmu terhadapku di kertas ini. Lalu setelah
itu kita masukkan ke dalam toples ini, dan kita kubur toples ini di sini” Jelas
Hilda sambil berjalan menunjukkan tempat untuk mengubur toples tersebut.
Akhirnya mereka berdua menulis perasaan mereka masing-masing.
“Ini bukti
komitmen kita. Apapun yang kita tulis di kertas itu aku harap, tulisan itu
tidak hanya sekedar tulisan yang suatu saat akan hilang dalam ingatan dan
perasaan. Aku ingin setelah kita berkomitmen seperti ini, mari kita menunggu
sepuluh tahun lagi. Iya, sepuluh tahun lagi kita harus bertemu di tempat ini
lagi. Dengan waktu yang sama dan hari yang sama. Aku berharap perasaan kita
sepuluh tahun lagi masih akan tetap sama” Hilda tersenyum. Akbar begitu yakin
akan omongan Hilda.
- 10 Tahun
Kemudian -
Sore
itu terasa begitu dingin, jalanan yang masih terlihat begitu becek banyak
lubang tergenang air akibat hujan yag turun begitu deras pada sore itu yang
kini sudah berhenti. Terlihat seorang perempuan memakai kerudung orange panjang
hingga menutupi lengannya. Ditambah baju lengan panjang berwarna hijau
dipadukan dengan warna putih. Ditambah tas kecil yang ia pegang sedari tadi.
Nampanknya ia sedang menunggu seseorang. Jemari tangan kanan nya tak
henti-henti nya ia mainkan. Mulai ia melihat ponselnya tak ada satu message
atau call dari orang yang ia tunggu. Waktu pun semakin larut, tepat pukul
setengah enam sore. Orang yang ia tunggu tak begitu datang juga. Hatinya yang
sudah lama menanti kehadirannya kini menjadi gelisah. Raut wajahnya kini tampak
menggambarkan bahwa ia sudah merasakan lelah. Waktu demi waktu pun berlalu
namun ia masih bersih kukuh untuk menunggu seseorang yang ia yakinkan jika
orang teresebut akan datang. Akhirnya, beberapa lama kemudian terlihat seorang
laki-laki dari kejauhan. Ia seperti memandangi Hilda. Dengan penampilannya yang
memakai kemeja kota-kotak warna cokelat disertai celana jeans hitam dan tas
punggung yang ia bawa. Ia lalu berjalan mendekati Hilda. “Hei..” sahut
laki-laki itu sambil menepuk pundak kanan Hilda. Hilda langsung menengadahkan
kepalanya, matanya memandang begitu tajam mata sosok laki-laki tersebut.
“Maaf lama
membuatmu menunggu” katanya. Hilda yang pada saat itu juga langsung berdiri
menatap mata laki-laki tersebut dengan penuh harapan. Hilda hanya membalas perkataan
tersebut dengan senyum manisnya.
“Kamu tahu ini
hari apa? Dan kenapa aku dan kamu dipertemukan kembali di tempat ini dan di
hari yang sama?” tanya Hilda
“Itu karena
komitmen yang telah kita buat” jawab laki-laki tersebut.
“Lalu apa
yang akan kamu lakukan sekarang, Akbar?
Apakah perasaanmu kini masih sama seperti dulu?” tanya Hilda
Akbar terdiam.
Ia mencoba duduk dikursi dan menghela napas sejenak.
“kenapa
terdiam?” tanya Hilda dengan penuh penasaran
“Aku bangga
dan bahagia kita sekarang sudah bisa menjadi orang sukses, kamu yang sekarang
berhasil menjadi guru bahasa arab dan aku juga sudah berhasil menggapai
cita-citaku menjadi Dokter. Dulu, kita pernah mempunyai rasa yang sama sehingga
kita memutuskan untuk membuat komitmen. Akan tetapi ...”
Hilda mulai
merasa penasaran akan kelanjutan penjelasan dari Akbar. Iya, laki-laki yang
sedari tadi ia tunggu adalah Akbar. Laki-laki yang selalu memberinya warna dan
kebahagian dalam hatinya sewaktu masih SMA.
“Maaf Hil..”
sahut Akbar kembali. Hilda mulai menatap Akbar dengan penuh dalam. Hatinya kini
berdebar dengan begitu kencang.
“Aku sudah
tunangan” jelas Akbar. Seketika mata Hilda mulai berkaca-kaca. Hatinya yang
selama ini ia jaga baik-baik hanya untuk seseorang kini itu semua menjadi
hancur. Hatinya menjadi sakit. Ia tak bisa mengungkapkan kata-kata dari
mulutnya. Ia hanya bisa menahan sakit yang begitu menusuk dalam hatinya. Akbar
juga merasakan apa yang dirasakan oleh Hilda. Namun, ia tak tahu apa yang harus
ia lakukan.
“Semoga kau
bahagia dengan pasanganmu yang sekarang. Tak usah kau khawatirkan diriku. Aku
baik-baik saja. Percayalah.” jawab Hilda
Akbar tak bisa
membalas perkataan Hilda tersebut. Akhirnya, Hilda pun beranjak pergi
meninggalkan Akbar dari tempat tersebut. Pergi dengan membawa hati yang begitu
sakit namun apadaya semua telah terjadi, ia tak bisa mengubah sesuatu yang
telah terjadi.
tegarrrr
BalasHapus